C. PEMERINTAHAN SULTAN (BAGIAN 1)

IMG_20180410_184234(1)_(1)2.jpg

Kesultanan Sumbawa, telah diperintah oleh Sultan / Sultanah sejak tahun 1648 masehi, berikut adalah sejarah mengenai pemerintahan dari para Sultan / Sultanah  dan Riwabatang ( Pelaksana Tugas Sultan ) :

 

1.    Dewa Mas Cinni ( 1648 – 1668 )

Sultan pertama dari Kesultanan Sumbawa berasal Dinasti Dewa Awan Kuning yang bernama Dewa Mas Cinni , dinobatkan pada 1 Muharram 1058 Hijriyah atau bertepatan dengan tgl 30 November 1648.

Dua tahun setelah penobatan, tepatnya tanggal 24 Desember 1650, Dewa Mas Cinni menikahi Karaeng Panaikang, putri dari Sultan Harun Alrasyid Tuminang Rilampana Raja Tallo.

Pada masa pemerintahan Dewa Mas Cinni belum banyak yang dapat dilakukan selain dari upaya menyempurnakan tata pemerintahan dari azas Hindu kepada azas Islam.

Pada masa pemerintahan Dewa Mas Cinni, dibangun sebuah istana yang bernama “ Bala Karang Minyak “. Istana ini dijadikan pusat kekuasaan dan pemerintahan, sekaligus rumah tinggal bagi Sultan dan keluarganya.

Ketika masa pemerintahan berakhir, Dewa Mas Cinni kembali ke Utan dan mangkat disana.

 

2.    Dewa Mas Gowa ( 1668 – 1674 )

Dewa Mas Gowa merupakan adik dari Dewa Mas Cinni.Karena kultur pemerintahan Dewa Mas Cinni masih kental dengan tatanan Hindu Animisme, maka atas kesepakatan adat, Dewa Mas Cinni diturunkan dari tahta digantikan oleh Dewa Mas Gowa.

Dewa Mas Gowa memperistri Putri Raja Klungkung Bali. Bukti dari perkawinan itulah lahir Desa Klungkung di perbukitan barat Ibu Negeri Kesultanan Sumbawa. Selain Desa Klungkung, pusaka yang dibawa dari Klungkung berbentuk keris yang diberi nama “ Batara Sukin “ dan tombak pusaka bernama “ Teyar Benrangang “ yang sampai saat ini masih dapat kita saksikan di Istana Bala Kuning. Seperti halnya Dewa Mas Cinni, Dewa Mas Gowa pun kembali ke Utan saat diturunkan dari tahta.

 

3.    Dewa Masmawa Sultan Harunnurrasyid I ( 1674 – 1702 )

Bernama asli Dewa Mas Bantan / Raden Bantan, merupakan putra dari Raden Subangsa ( Trah Sultan Hidayatullah Bin Rahmatullah, Sultan Banjar ) yang memperistri Dewa Mas Panghulu, kakak dari Mas Cinni dan Mas Gowa. Dewa Mas Bantan pada tahun 1674 diangkat sebagai Sultan Sumbawa atas permufakatan majelis pemerintahan Pangantong Lima Olas disebabkan oleh kultur pemerintahan Dewa Mas Gowa tidak berbeda dengan pemerintahan Dewa Mas Cinni.

Dewa Mas Bantan Sultan Harunurrasyid I, disebut juga Dewa Dalam Bawa, sebagaimana nama dinastinya yakni Dinasti Dewa Dalam Bawa.

Pada masa pemerintahan Sultan Harunurrasyid I inilah penerapan syariat Islam dilaksanakan secara total baik dalam pemerintahan maupun dalam adat istiadat dan kemasyarakatan. Sehingga lahirlah Falsafah Budaya Sumbawa “ Adat Barenti Ko Syara’, Syara Barenti Ko Kitabullah “ ( adat berpegang pada Syara’, Syara berpegang kepada Kitabullah ) untuk Kerik Salamat Tau Ke Tana Samawa ( Keselamatan dan kesejahteraan bagi penduduk dan bumi Sumbawa ).

Dewa Masmawa Sultan Harunurrasyid I mempersunting Halimah Daeng Tomi Karaeng Tannisanga, putri dari Raja Gowa I Meppaiyo pada tanggal 29 Juni 1684, dan memperoleh beberapa orang putra / putri antara lain :

-      Datu Bala Sawo ( Datu Seran – Seteluk )

-      Amasa Samawa Dewa Mas Madina ( Sultan Sumbawa )

-      Mas Palembang Dewa Maja Jareweh ( Datu Jereweh ).

-      Dewa Iya ( Permaisuri Sultan Hasanuddin , Sultan Bima )

-      Dewa Isa Karaeng Barong Patolla ( diperistri oleh Aroe Kajoe )

Dimasa pemerintahan Sultan Harunurrasyid I Kesultanan Sumbawa mencapai puncak kemakmuran karena perannya memajukan bidang pertanian, bidang peternakan maupun bidang pertahanan dan keamanan. Tahun 1702 Sultan Harunurrasyid I menyerahkan kekuasaan kepada putra keduanya Amasa Samawa Dewa Mas Madina. Sedangkan beliau yang kemudian digelari Datu Loka meneruskan tugasnya memimpin pasukan perang Kesultanan Sumbawa.

 

4.    Dewa Masmawa Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I (1702 -1725 )

Putra kedua Sultan Harunurrasyid I yang bernama Amasa Samawa Dewa Mas Madina dinobatkan sebagai Sultan Sumbawa, bergelar Dewa Masmawa Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I.

Pada masa pemerintahan Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I mulai ditata dan diatur dengan baik dasar – dasar pemerintahan menurut adat barenti ko Syara’ . Syara’ barenti ko kitabullah, sebbagaimana tertuang dalam Manik Kamutar Dewa Masmawa ( Piagam ) yang meletakkan Tiga Dasar Pokok Pemerintahan :

-      Politik, Keamanan dan Pertahanan

-      Kemakmuran Rakyat

-      Ketakwaan Kepada Allah SWT.

Dewa Masmawa Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I menikahi I Rukkia Karaeng Kanjene Ratu Sidenreng pada tanggal 29 November 1702 dan memperolah seorang Putri yang diberinama I Sugiratu Karaeng Bontoparang.

Dewa Masmawa Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I membangun sebuah Istana yang sangat ternama keindahannya yang diberi nama Istana Bala Balong.

Pada tahun 1722, atas desaskan seorang Wali, Dewa Masmawa Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I memimpin langsung pasukan perangnya untuk berjihad mengusir penjajah dari bumi Selaparang Lombok, bersama saudaranya Mas Palembang Dewa Maja Jareweh ( Datu Jereweh ) dan Jalaluddin Datu Taliwang ( Datu Gunung Setia ).

Namun naas, dalam peperangan tersebut Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I Mangkat bersama saudaranya Mas Palembang Dewa Maja Jareweh pada tanggal 12 Februari 1725. Makam keduanya terdapat di Apitaik Lombok Timur.

5.    Riwabatang : Datu Balasawo Dewa Loka Ling Sampar ( 1722 – 1725 )

Datu Balasawo adalah Datu Seran – Seteluk, kakak tertua dari Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I.

Ketika Sultan Sumbawa meninggalkan tahta untuk berperang di selaparang maka beliau diganti oleh Datu Balasawo sebagai Riwabatang.

Selama lebih dua tahun pemerintahannya sebagai Riwabatang, tak banyak yang dapat diperbuat oleh Datu Balasawo selain dari meneruskan kebijakan sang Sultan.

Datu Balasawo mangkat, tidak lama setelah kemangkatan Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I. Beliau dimakamkan di pemakaman Sultan – Sultan Sumbawa “ Makam Sampar “.

Setelah kemangkatannya beliau mendapat nama anumerta “ Dewa Loka Ling Sampar “.

 

6.    Dewa Ling Gunung Setia ( 1725 – 1731 )

Kemangkatan Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I serta kakaknya Datu Balasawo menyebabkan kekosongan kepemimpinan di Kesultanan Sumbawa. Atas permufakatan adat Pangantong Lima Olas dinobatlah Jalaluddin Datu Taliwang sebagai Sultan Sumbawa pada 15 Dzulhijah 1137 Hijriyah atau tanggal 14 Agustus 1725. Selama lebih kurang 7 tahun memerintah, Datu Gunung Setia meneruskan kebijakan Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I.

Tercatat dalam sejarah sebuah peristiwa besar terjadi pada malam tanggal 26 Ramadhan 1145 Hijriyah atau bertepatan dengan 5 April 1731, terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan Istana Balong beserta harta benda dan sebagian penghuninya, termasuk perkampungan di sekitar Istana Bala Balong.

Sultan Sumbawa Datu Taliwang, Datu Gunung Setia beserta Permaisuri dan Putra Putrinya turut mangkat karena kebakaran hebat tersebut.

Beliau beserta keluarganya dimakamkan di Bukit Gunung setia, demikianlah maka beliau mendapatkan nama anumerta Datu Ling Gunung Setia.

 

7.    Dewa Masmawa Sultan Muhammad Kaharuddin I ( 1731 – 1759 )

Bernama asli Dewa Mas Mappasusung Datu Porro ( dalam Lontarak Gowa : Meppadusu atau Meppasusu ).

Beliau adalah putra Mas Palembang Dewa Maja Jareweh Datu Jereweh dengan Datu Bininya Karaeng Bonto Jene ( Putri Gowa ).

Saat sang ayah beserta pamannya Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I dan Datu Taliwang Datu Gunung Setia, memimpin pasukan ke Selaparang,atas keputusan adat Dewa Mas Meppasusung Datu Poro menjadi Riwabatang Datu Taliwang. Namun karena Datu Taliwang Datu Gunung Setia dinobatkan sebagai Sultan Sumbawa sepeninggal Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I, Dewa Mas Meppasusung Datu Poro kemudian dinobat sebagai Datu Taliwang.

Kemangkatan Datu Taliwang Datu Gunung Setia tahun 1731, atas keputusan adat Pangantong Lima Olas dinobatkan Dewa Mas Meppasusung Datu Poro Datu Taliwang sebagai Sultan Sumbawa, bergelar Dewa Masmawa Sultan Muhammad Kaharuddin I.

Pada tanggal 7 November 1733, Sultan Muhammad Kaharuddin I menikahi saudari sepupunya, I Sugiratu Karaeng Bontoparang yang sudah berstatus janda dengandua orang putra yakni :

- Karaeng Bonto Masugi ( Sumbawa; Datu Bontopaja )

- I Lotting Shalahuddin

Buah pernikahan dengan suami pertama I Mappasempe Daeng Mamarro Karaeng Bontolangkasa.

Beliau membangun istana baru menggantikan istana yang terbakar diberi nama Istana Gunung Setia.

Sultan Muhamammad Kaharuddin I terkenal sebagai Sultan Sumbawa yang memiliki watak yang keras serta tidak mengenal kompromi dengan belanda. Dengan terang terangan beliau menolak mengadakan Sumpah Setia kepada Belanda. Sikap keras ini akhirnya ditolerir oleh Belanda.

 

8.    Dewa Masmawa Sultanah Siti Aisyah ( 1759 – 1761 )

Dari pernikahan I Sugiratu Karaeng Bontoparang dengan Sultan Muhammad Kaharuddin I tidak diperoleh keturunan sehingga ketika Sultan Muhammad Kaharuddin I mangkat pada tahun 1759, permufakatan adat menetapkan I Sugiratu Karaeng Bontoparang sebagai Sultanah Sumbawa bergelar Dewa Masmawa Sultanah Siti Aisyah.

Sultanah Siti Aisyah hanya menduduki tahta Kesultanan Sumbawa lebih kurang dua tahun, pada tahun 1761 atas keputusan adat sang Sultanah diturunkan dari tahta karena terlampau sering berseteru dengan para Menteri dan Pejabat Kesultanan.

Sejak turun tahta, Sultanah Siti Aisyah menetap di Kesultanan Bima dan mangkat disana. Makamnya terdapat di komplek para Raja Bicara Bima di Makam Bata Kampung Na’e Bima.

 

9.    Dewa Masmawa Lalu Onye Datu Ungkap Sermin Dewa Lengit Ling Dima ( 1761 – 1762 )

Pangantong Lima Olas dalam keputusan hukumnya mengangkat Lalu Onye Datu Ungkap Sermin untuk menduduki tahta Kesultanan Sumbawa menggantikan Sultanah Siti Aisyah.

Sultan Lalu Onye Datu Ungkap Sermin adalah putra dari Datu Seppe. Datu Seppe merupakan hasil pernikahan kedua Dewa Iya Binti Sultan Harunurrasyid I dengan Datu Budi dari Gowa.namun karena pertentangannya dengan Lalu Anggawasita, Sultan Lalu Onye Datu Ungkap Sermin meninggalkan tahta mencari suaka ke Kesultanan Bima. Setelah berkelana beberapa saat ke Pulau Jawa, Lalu Onye Datu Ungkap Sermin kembali ke Bima dan mangkat disana. Itulah sebabnya beliau digelari Dewa Lengit Ling Dima ( Dima = Bima ).

 

10. Dewa Masmawa Sultan Muhammad Jalaluddinsyah II ( 1762-1765 )

Nama aslinya adalah Gusti Mesir Abdurrahman Pangeran Anom Mangkuningrat. Pangeran asal Banjar putra Gusti Pangeran Arya yang merupakan trah Sultan Hidayatullah Bin Rahmatullah Sultan Banjar.

Ada beberapa alasan mengapa Majelis Pangantong Lima Olas menyetujui pengangkatan Gusti Mesir Abdurrahman Pangeran Anom Mangkuningrat sebagai Sultan sumbawa :

-      Telah menikahi Karaeng Bonto Masugi Datu Bontopaja Putri Sultanah Siti Aisyah atau Cucu Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I.

-      Berjasa kepada Kesultanan Sumbawa dalam membasmi Perompak diperairan Sumbawa.

-      Memiliki hubungan darah dengan Dewa Mas Bantan Sultan Harunurrasyid I.

-      Kemampuannya dalam pemerintahan serta mampu meredam konflik yang terjadi antara Kedatuan Taliwang dengan Kedatuan Jereweh ( dimana pada masa tersebut yang menjadi Datu Taliwang adalah Gusti Amin, paman dari Gusti Mesir Abdurrahman ).

Sehingga dengan alasan – alasan demikian diperkuat dengan permohonan Lalu Anggawasita maka muluslah jalan bagi Gusti Mesir Abdurrahman Pangeran Anom Mangkuningrat untuk menduduki tahta Kesultanan Sumbawa.

Pada masa Pemerintahannya dilakukan kajian kembali terhadap kitab hukum terutama ketentuan pidana serta ketentuan lainnya.

11. Sultan Mahmud ( 1765 )

Pada tahun 1765 ( 1 Dzulhijjah 1179 Hijriyah ) Sultan Muhammad Jalaluddinsyah II mangkat. Menurut hukum adat Sultan yang mangkat belum boleh dimakamkan sebelum dipilih penggantinya. Atas permufakatan Majelis Pangantong Lima Olas dikukuhkan Sultan Mahmud putra satu – satunya dari Pangeran Anom Mangkuningrat Sultan Muhammad Jalaluddinsyah II.

Karena Sultan Mahmud yang dilahirkan tahun 1756, pada hari penobatannya baru berusia 9 tahun. Maka ditunjuklah Datu Taliwang Dewa Meppaconga Mustafa menjadi Riwabatang mengendalikan roda pemerintahan.

Diusia 18 tahun Sultan Mahmud menikahi saudari sepupu dari keluarga ayahnya, Putri Sarah atau Putri Laiya, cucu Sultan Tahmidullah, Sultan Banjar.

Dari pernikahan tersebut diperoleh dua orang putra / putri :

-      Lalu Muhammad ( Sultan Muhammad Kaharuddin II )

-      Lala Siti Fatimah

Hal yang menjadi catatan sejarah dan pelajaran berharga bagi Kesultanan Sumbawa, pada proses pengangkatan Sultan terdapat hal – hal sebagai berikut :

-      Sultan Mahmud sampai dengan mangkatnya di usia 24 tahun tidak pernah didudukkan pada tahta Kesultanan Sumbawa meskipun sudah dilantik dan dinobatkan menggantikan ayahnya.

 

12. Riwabatang : Dewa Mappaconga Mustafa ( 1765 – 1775 )

Sultan Mahmud yang menggantikan posisi ayahnya sebagai Sultan Sumbawa tentu tidak mungkin dapat mengendalikan roda pemerintahan karena baru berusia 9 tahun, keputusan hukum adat lalu menetapkan Dewa Mappaconga Mustafa Datu Taliwang sebagai Riwabatang.

Pengangkatan Datu Taliwang Dewa Mappaconga Mustafa sebagai Riwabatang Kesultanan Sumbawa, menjadi penyebab sakit hati Datu Alauddin Datu Jereweh, hal ini dikarenakan Datu Alauddin / Hasanuddin merasa memiliki hak yang sama dengan Datu – Datu lainnya dalam wilayah Kamutar Telu. Karena tidak terpilih Datu Jereweh kemudian menempuh cara lain yang tidak sah menurut hukum adat.

Guna mewujudkan ambisinya, Datu Jereweh kemudian mempengaruhi raja – raja dibagian timur Sumbawa tujuannya untuk membantu dan bersama pihak Belanda menandatangani Kontrak Politik guna membatalkan pengangkatan Dewa Mappaconga Mustafa.

Penandatangan Kontrak Politik akhirnya disepakati dilaksanakan di Makassar tanggal 19 februari 1765, ikut menandatangani :

-      Abdul Kadir Muhammadsyah Dzilullah Fil Alam ,Sultan Bima

-      Alauddin / Hasanuddin , Datu Jereweh.

-      Ahmad Alauddin Johansyah, Sultan Dompu.

-      Abdulrasyid Johan Kumalasyah, Raja Tambora.

-      Muhammad Johansyah, Raja Sanggar.

-      Abdulrahmat, Raja Papekat.

-      Kornelis Senclaar, mewakili Gubernur Belanda.

Mengetahui kejadian itu Dewa Mappaconga Mustafa beserta Pangantong Lima Olas mengadakan musyawarah membicarakan tindakan penghianatan Datu Jereweh serta campurtangan Belanda dalam pemilihan Sultan Sumbawa. Keputusan rapat yang diambil antara lain :

-      Mengirim utusan ke Makassar guna menemui Gubernur Belanda untuk memprotes dan menolak campur tangan Belanda terhadap proses pemilihan Sultan Sumbawa.

-      Menetapkan Lalu Malarangang Datu Busing atau Datu Museng sebagai utusan yang diyakini dapat menyelesaikan masalah tersebut.

-      Memberi peringatan kepada Datu Jereweh yang dianggap berkhianat terhadap Kesultanan Sumbawa karena telah menandatangai Kontrak Politik dengan Kompeni tanpa hak. Sesuai ketentuan yang disepakati bahwa yang mempunyai hak untuk itu adalah Sultan Sumbawa / Riwabatang atas persertujuan Pangantong Lima Olas.

Perjuangan Lalu Malarangang Datu Busing bersama istrinya Maipa Daeng Ke’nang akhirnya membuahkan hasil, meskipun keduannya Syahid di Negeri Makassar. Mereka mengorbankan jiwa dan raga demi kejayaan Kesultanan Sumbawa. Namun pengorbanannya tidak sia sia, darah mereka yang mengalir di Bumi Makassar ternyata mampu memaksa Belanda untuk menyadari kesalahannya dan menarik kembali Kontrak Politik yang telah dibuat dengan Datu Jereweh.

Dengan ditariknya kembali Kontrak tersebut maka dibuatlah kontrak baru antara lain :

-      Mengukuhkan kembali pengangkatan Dewa Mappaconga Mustafa sebagai Riwabatang di Kesultanan Sumbawa.

-      Menyerahkan kembali kekuasaan kepada Sultan Mahmud, apabila sultan Mahmud telah besar dan mampu mengendalikan pemerintahan.

-      Mengakhiri perselisihan dan menghapus dendam antara Datu Taliwang dan Datu Jereweh demi kebesaran Kesultanan Sumbawa.

Kontrak politik pemulihan kembali posisi Dewa Mappaconga Mustafa ditandatangani tanggal 18 Mei 1766. Ikut menandatangani Datu Jereweh sendiri. Dengan adanya kontrak ini, maka Kontrak yang ditangdatangani 9 Februari 1765 menjadi batal dan dinyatakan tidak berlaku. Masa pemerintahan Dewa Mappaconga Mustafa lebih kurang 10 tahun. Menjelang akhir kekuasaannya beliau dibawa pulang ke Taliwang karena jatuh sakit dan akhirnya mangkat di Taliwang pada tahun 1776.

 

13. Riwabatang : Datu Busing Lalu Komak ( 1775 – 1777 )

Guna mengendalikan kekuasaan dan mengendalikan roda pemerintahan sepeninggal Dewa Mappaconga Mustafa, maka Datu Busing Lalu Komak menjadi pilihan Majelis Pemerintahan Kesultanan Sumbawa.

Tidak banyak catatan yang menggambarkan tentang situasi pemerintahan Kesultanan selama dua tahun Datu Busing Lalu Komak memerintah. Perlu dijelaskan disini bahwa Busing merupakan satu jabatan khusus pada struktur pemerintahan Kesultanan Sumbawa. Busing merupakan perwakilan rakyat Kesultanan Sumbawa. (bersambung...)

      

      Sumber :

Majelis Adat - Lembaga Adat Tana Samawa (LATS)

Bidang Kebudayaan - Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumbawa


Kunjungan : 3833
Kategori : Sejarah
Share :

Komentar :